Selasa, 30 November 2010

CERPEN

TENTANG CINTA PERTAMA, SEBUAH KENANGAN TAK TERLUPAKAN


Kau datang membawa
Sebuah cerita
Darimu itu pasti lagu ini tercipta
Darimu itu pasti lagu ini tercipta

Dari jendela kelas yang tak ada kacanya
Tembus pandang kekantin bertalu rindu
Datang mengetuk pintu hatiku

(Iwan Fals, “Jendela Kelas Satu”)

Semesta seakan berhenti bergerak.

Waktu mendadak tak berdetak.

Hening. Sunyi. Beku.

Suara lantang wali kelas kami mengumumkan kedatangan siswi baru pindahan dari sebuah kota yang jauh menyentakkan sekaligus membuat takjub kami semua. Gadis itu, siswi pendatang baru menatap malu-malu ke arah kami sembari menunduk tersipu. Potongan rambut mirip Lady Di dengan beberapa helai rambut jatuh dikeningnya membuat saya terpana dalam kekaguman.

Cantik sekali dia, saya membatin. Kemeja putih dan rok biru yang dikenakan gadis muda itu sungguh sangat kontras dengan pancaran keanggunan yang ia miliki. Dan pada matanya. Ada rembulan mengapung teduh disana.

Seketika desir-desir aneh mulai merambati hati. Sesuatu yang tak saya pahami selain sebuah keinginan besar untuk selalu dekat dengannya. Menikmati segala keindahannya. Lalu menjadi bagian dari segala kebahagiaan, juga kesedihannya. Perempuan itu telah berhasil merebut simpati dan perhatian saya pada kesempatan pertemuan pertama. Love at the first sight.

Ya, mengenang kembali Cinta Pertama bagi saya, adalah membayangkan kembali disuatu masa, dimana saya menjelma menjadi sesosok pria remaja kurus ceking berseragam putih dan celana pendek biru yang berdiri tegak kaku dengan lutut bergetar dipinggir pintu kelas, menyaksikan dia, perempuan yang selalu jadi bunga mimpi dari malam ke malam (selanjutnya kita panggil saja “Diajeng”) , berlalu anggun sembari melepas senyum riang yang, membuat jantung saya berpacu kencang dengan desir aneh tak terkatakan.

“Suatu waktu, dia akan menemani saya tumbuh besar, dewasa, membangun keluarga bahagia, memiliki anak-anak dan menjadi tua bersama”, begitulah “tekad” sederhana yang terpatri dalam batin saya. Sebuah tekad yang mungkin “musykil” tapi bukan mustahil untuk diwujudkan.

Saya mengenang bagaimana ketika saya dengan malu-malu mencuri pandang kearah Diajeng yang duduk di bangku depan, mengagumi setiap helai rambutnya yang berpotongan ala Lady Di serta matanya yang berpendar lembut.

Saya bahkan tak pernah berani bertatapan langsung dengannya atau berbicara lebih lama, karena badan saya mendadak terasa jadi kaku tak bisa bergerak.

Setiap malam, tak pernah tak terlewatkan membayangkan sosok sang idaman hati menjelang tidur bahkan kerap berkunjung menghiasi mimpi-mimpi, menjelma bidadari berpakaian warna warni dan bersayap cemerlang.

Betapa dashyat “gempuran” hati dari cinta pertama ini.

Sayang sekali, saya tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk melakukan pendekatan secara intens. Bukan apa-apa, saya merasa rendah diri setiap kali berhadapan dengannya. Secara status sosial ia memiliki “derajat” lebih tinggi ketimbang saya yang hanyalah seorang putra pegawai negeri biasa yang tinggal di Perumteks.

Setiap hari Diajeng diantar ke sekolah oleh mobil sang ayah sementara saya mengendarai sepeda atau kadang berjalan kaki ramai-ramai dengan teman-teman ke sekolah. Saya sungguh sungkan dan akhirnya menganggap saya bukanlah orang yang pantas mendampinginya . Saya mengalami inferioritas tahap akut dan parahnya itu justru saya alami pada perempuan yang sangat saya sukai (sesuatu yang kemudian saya sesali beberapa tahun ke depan).

Suatu Hari Diajeng datang menghampiri saya didekat kelas kami. Kaki saya mendadak gemetar dan lidah terasa kelu.

“Tolong, ajari saya matematika ya?”, katanya pelan sedikit tersipu.

Saya tak bisa berkata apa-apa. Hanya terpana (lebih tepatnya menganga).

Tak percaya rasanya mendapat anugerah sebesar ini. Saya seumpama tokoh Ikal di film Laskar Pelangi ketika pertama kali bertemu dengan A-Ling ketika membeli kapur tulis di Toko Sinar Harapan. Ada kupu-kupu beterbangan dan bunga-bunga indah bertebaran dihadapan saya dan dia. Indah sekali.

Sampai kemudian ia menyentakkan lamunan saya dengan tawa pelan, yang, amboi..sungguh mempesona. Bagai gempa bumi 9 scala richter berpotensi tsunami yang menggetarkan relung-relung hati paling dalam. Ini sebuah anugerah luar biasa yang sama sekali tak terduga dan sangat diharapkan.

Dan begitulah dengan segala keikhlasan dan kerelaan, saya pun menemani dan mengajari Diajeng belajar matematika di teras rumahnya yang megah setidaknya seminggu dua kali. Dengan gagah berani-bagai ksatria perkasa berbaju zirah menunggang kuda sembrani- saya mengendarai sepeda Jengki berwarna Oranye saya kerumahnya yang berjarak kurang lebih 1,5 km dari rumah saya itu.

Sepeda butut saya tersebut selalu dipacu kencang menuju kesana, tak sabar ingin segera bertemu. Kerapkali rantai sepeda lepas dipinggir jalan dan merepotkan saya untuk memasangnya kembali.

Saya sudah berdandan rapi memakai minyak rambut tancho hijau yang memiliki daya lengket luar biasa dan memberikan efek ala rambut Al Pacino dalam film “Godfather” itu serta menyemprotkan parfum murahan ayah saya dari rumah. Sebuah upaya sistematis romantis untuk (sedikit) meningkatkan derajat ketampanan.

Meski akhirnya penampilan itu jadi sia-sia belaka ketika semuanya luntur saat tiba disana oleh yang keringat mengucur deras karena letih mengayuh sepeda. Semua “penderitaan” itu terbayar tunai hanya dengan melihat senyum manisnya yang menyambut saya, bagai Naysila Mirdad menyongsong Dude Herlino-nya dalam sebuah episode sinetron masa kini :)

Saya ingat betul, dalam kondisi ngos-ngosan, Diajeng menyodorkan air putih dingin kepada saya. “Minum dulu, capek ya? Makanya jangan ngebut-ngebut naik sepedanya,” kata Diajeng sembari memamerkan senyumnya yang fenomenal itu. Terasa benar rasa letih saya mendadak menguap ke udara dan terganti dengan rasa bahagia menyeruak di dada. Dengan tangan yang masih ada sisa oli pelumas rantai sepeda, saya meraih gelas yang disodorkan Diajeng lantas mereguknya dengan lahap, melampiaskan dahaga. Ia menyaksikan aksi spontan saya itu sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.

Sebagai “bintang kelas” tak ada kesulitan buat saya mengajarkan soal-soal matematika kepada sang wanita pujaan hati. Meski memang konsentrasi saya kadang buyar karena saya kerap lebih menikmati pesona wajahnya ketimbang serius mengajari matematika.

Walau tak terkatakan, dari sorot matanya saya tahu, Diajeng juga menyukai saya selalu berada didekatnya, berbagi serta bercerita tentang banyak hal. Dan kami sama-sama menjaga perasaan itu tersembunyi didalam lubuk hati masing-masing, secara utuh dan elegan. Cinta memang tak mesti diungkapkan secara verbal.

Ketika Diajeng harus pergi mengikuti penugasan sang ayah ke kota lain, betapa hati saya jadi layu dan terluka karenanya. Saya tak sempat mengungkapkan perasaan terdalam bahkan ketika perpisahan itu tiba hanya berselang beberapa hari setelah acara perpisahan sekolah kami.

Di hari terakhir saya bertemu dengannya, kami berjabat tangan dan berjanji akan saling mengirim kabar. Ada kepedihan terlihat dimatanya. Ia terlihat rikuh saat menarik kembali tangannya yang sudah saya genggam lama. Saya tersenyum malu. Ia tertawa pelan lalu mengangguk saat saya berkata lirih, “Jangan lupakan saya ya?”. Dengan langkah gontai saya meninggalkan teras pekarangan rumahnya tempat dimana saya dulu sering mengajarinya matematika. Ia masih berdiri disana saat saya menoleh kebelakang. Ia melambaikan tangan dan menangis. Ah, sepenggal hati saya tertinggal disana..

Dua hari setelah Diajeng pergi, saya jatuh sakit selama seminggu. Kedua orang tua saya sempat bingung, putra sulungnya tiba-tiba sakit tak jelas, mogok makan dan mogok sekolah. Susah rasanya membangun kembali hati yang porak-poranda gara-gara cinta pertama yang berakhir memilukan begini.

Kehilangan itu sungguh sangat membekas dihati. Bahkan ketika memasuki masa SMA saya memilih untuk lebih berkonsentrasi belajar dan mengurus OSIS SMA ketimbang menjalin hubungan cinta (baca kisah “kelanjutan” cerita ini di “Love at The First Voice”). Saya masih memendam harapan pada Diajeng yang ketika itu sering mengirim surat pada saya. Di tahun kedua setelah kepergiaannya, saya kehilangan jejak dan kami tak pernah lagi saling berkirim surat.

Kenangan cinta pertama memang tak terlupakan. Dan kehangatannya masih tetap terasa hingga kini. Saya menandai momen terindah dalam sepotong episode kehidupan saya ini sebagai sebuah monumen berharga. Entah disuatu ketika (bisa jadi setelah kami sudah sama-sama tua), saat kami akhirnya bertemu kembali, saya ingin mengajaknya mengenang masa-masa indah itu, sembari bersenandung lagu lawas Iwan Fals “Jendela Kelas Satu” yang kerap saya dendangkan dengan rindu membuncah saat mengayuh sepeda menuju rumahnya mengajari Matematika

Ah, Diajeng…semoga kebahagiaan selalu berada bersamamu..


Duduk dipojok bangku deretan belakang

Didalam kelas penuh dengan obrolan

Slalu mengacau laju hayalan

Dari jendela kelas yang tak ada kacanya

Dari sana pula aku mulai mengenal

Seraut wajah berisi lamunan

Bibir merekah dan merah selalu basah

Langkahmu tenang kala engkau berjalan

Tinggi semampai gadis idaman

Kau datang membawa

Sebuah cerita

Darimu itu pasti lagu ini tercipta

Darimu itu pasti lagu ini tercipta

Dari jendela kelas yang tak ada kacanya

Tembus pandang kekantin bertalu rindu

Datang mengetuk pintu hatiku



Kenangan Cinta-ku yang tak terlupakan


Hatiku kembali bergemuruh saat tak sengaja kupandang wajahnya di faceb.Dia tulis komentar di dinding temanku,kenapa harus ada dia Tuhan,kenapa hati ini kau ingatkan kempali padanya.Mas Dim,yach nama itulah yang 10 tahun lalu pernah menemaniku dalam suka dan duka,pemberi semangatku dalam belajar, penghiburku dalam dukaku, waktu yang bukan terbilang singkat karena kebersamaan kami sampai 4 tahun lamanya.Ku add namanya, dan tanpa kuduga dia langsung merespon bahkan menelponku, karena di profile facebook ku kutulis no hpku. "Hallo bisa bicara dengan Aya" Degg..aku hapal suaranya dan yang memanggilku Aya hanyalah dia Mas Dim, karena panggilanku sebenarnya Cahya.Ya Tuhan mimpi apakah aku hingga aku bisa mendengar suaranya yang sudah 10 tahun tak pernah kudengar."Ya,saya sendiri, bagaimana kabarnya mas?" tanyaku"Kamu masih ingat dan hapal suaraku Ya,hingga kamu tak perlu menanyakan siapa aku."Iya mas, siapa yang bisa lupa orang yang pernah menghiasi hatiku mas, yang selalu memberi warna2 indah dalam hidupku dulu."Dalam hati aku ingin berkata lebih banyak tapi tiba2 saja hp ku low batt.Hingga pada keesokan harinya mas Dim kembali telp cukup lama,kami saling bercerita tentang diri kami masing2 yang sudah 10 tahun tak bertemu. Ternyata mas Dim dah berkeluarga dan mempunyai seorang putra, dia menyusulku,karena aku 5 tahun lebih dulu telah berkeluarga.Aku ingat dulu betapa aku menyakitinya, aku bukan sengaja menyakitinya.Pada waktu itu aku bekerja di Batam,setelah 3 tahun bekerja di Batam,aku di telp ibuku bahwa adikku akan dilamar oleh pacarnya,aku g bisa terima, aku pikir setelah dilamar pasti tak lama kemudian akan menikah, aku g mau kalau dilangkah, aku ingin aku duluan yang menikah, jadi kutanya mas Dim,siapkah dia melamarku waktu itu, aku sangat berharap dia siap, tapi jawaban apa yang kudapat, dia belum siap, dia ingin selesaikan dulu S1 nya, lalu kuberjanji dalam hati,aku akan terima siapa aja yang mau jadi suamiku asalkan dia baik.Dan ternyata lak lama setelah kuberjanji dalam hati, datang seorang laki2 yang baik yang bersedia jadi suamiku, dan terbukti dia menjadi suami yang baik hingga sekarang.
Otomotis aku meninggalkan mas Dim, dan menikah dengan suamiku sekarang, malahan mas Dim datang waktu pernikahanku.Aku waktu itu tak merasa menyakitinya, aku tau kalau telah menyakitinya dari adikku yang sering jadi tempat curhat mas Dim sejak aku menikah.Adikku cerita kalau mas Dim tak mengira kalau aku begitu cepat mengambil keputusan tuk menikah, dan tak menunggunya hingga selesai kuliah.yach nasi sudah menjadi bubur walau kusesali meninggalkan mas Dim waktu itu tapi aku bahagia karena suamiku adalah seorang yang baik dan aku tak salah pilih. Dan kini kenanganku tetang mas Dim kembali oleh fotonya juga suaranya yang sengaja menelponku, mas Dim masih selalu mengingatku dalam hatinya,karena namaku ada dalam nama putranya walau hanya sebagian kecil, juga alamat emailnya,ada angka yang jadi kenangan kami yaitu tanggal kami jadian, tentu tanpa setau istrinya.Mas Dim semua itu membuat aku ingin bertemu langsung denganmu, sekedar melihatnya secara langsung karena mas Dim berjanji tuk main bersama istri dan anaknya waktu dia telp yang pertama juga yang terakhir, karena sejak itu tak ada telp juga tepati janji tuk mengenalkan istrinya padaku.Kucoba telp ke no yang mas Dim buat telp ke aku tapi no itu sudah tak aktif, sering kucoba tapi sama hasilnya, ku ,lihat emailpun tak ada kiriman email dari mas Dim. Mungkin memang benar kata mas Dim, masa lalu memang boleh dikenang hanya sebagai cermin tanpa kita harus kembali. Aku berharap menghilangnya mas Dim tanpa telp jg kirim email bukan karena ketahuan istri,tapi karena mas Dim sadar jika kami tetap melanjutkan contact maka bukan tak mungkin masa lalu itu kembali

Create your own banner at mybannermaker.com!
Make your own banner at MyBannerMaker.com!